JAKARTA, L86NEWS.COM – Perkebunan kelapa sawit itu tidak masuk ke dalam kawasan hutan konservasi, untuk itu di sarankan untuk menyelesai kan secara baik baik jika terdapat suatu permasalahan.
Demikian di sampaikan Ketua Umum (Ketum) Fast Respon Nusantara (FRN), Agus Flores saat mengunjungi areal Kelapa Sawit di Pasangkayu Sulawesi Barat (Sulbar), Minggu (24/4/2022)
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menegaskan bahwa sawit bukan tanaman hutan. Hal ini juga di dasari dari berbagai Permen, Analisis historis dan kajian akademik berlapis,” ujar Agus.
Di samping itu, lanjut relawan Jokowi ini, berdasar wacana umum dan praktik, sawit juga bukan termasuk tanaman hutan. “Pemerintah pun belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,” tandasnya.
Di ungkapkan Agus, dalam Permen LHK P.23/2021, Sawit juga tidak di sebut sebagai tanaman Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Dan saat ini, pemerintah lebih fokus ke persoalan yang terjadi sejak beberapa dekade lalu.
“Sehingga berakibat pada masifnya ekspansif penanaman sawit di kawasan hutan non prosedural dan tidak sah,” ungkapnya.
Praktik kebun sawit ekspansif, monokulture, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, menurut Agus telah menimbul kan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus segera di selesaikan.
”Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis tak terganti kan dan sawit mendapatkan ruang tumbuh sendiri, pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan atau kegiatan rehabilitasi, saat ini belum waktu yang tepat,” kata Agus.
Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan, penyelesaian yang harus di lakukan adalah pemenuhan unsur keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan dan akan berdampak baik bagi masyarakat dan hutan.
“Salah satunya yakni melalui regulasi jangka benah sebagai upaya pemulihan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi campur dengan teknik agroforestry di sertai komitmen kelembagaan dengan para pihak,” jelasnya.
Di jelaskan Agus, mebijakan turunan dari UUCK, yakni Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit.
Adapun jenis tanaman pokok kehutanan untuk Hutan Lindung dan Hutan Konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu namun tidak boleh ditebang.
Dalam peraturan ini, masih kata Agus, di berlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib di serahkan atau di kembali kepada negara.
“Untuk sawit di kawasan hutan produksi, di boleh kan satu daur selama 25 tahun. Namun, bagi sawit di kawasan konservasi hanya di bolehkan 1 daur 15 tahun terhitung sejak masa tanam dan akan di tanami pohon setelah jangka benah berakhir,” jelasnya
Jangka benah, menurut Agus wajib dilakukan sesuai tata kelola hutanan sosial, yakni bertanam melalui teknik agroforestri sesuai kondisi biofisik dan sosial, terapkan sistem silvikultur selama masa jangka benah.
”Pendekatan secara ultimum remedium juga harus diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan,” tukasnya.
Di dalam UUCK, sambung Agus, juga sudah di perjelas bahwa sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutan kan kembali melalui jangka benah sekaligus memposisikan sawit sebagai tanaman kebun
“Ruang tanam sawit secara sah sudah ada mekanisme dan pengaturannya. Terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP24/2021 bisa kita kawal agar pelaksanaan nya efektif, hutan lestari dan rakyat sejahtera,” pungkasnya.
Reporter : Abd Rohman