JAKARTA, L86News.com – Tekanan sosial dan ekonomi yang menghimpit masyarakat adat Dayak kian terasa berat. Kebijakan pemerintah pusat, seperti larangan bertani ladang berpindah dengan cara membakar lahan sesuai kearifan lokal, larangan mendulang emas tradisional, hingga pembatasan pemanfaatan kayu untuk kebutuhan sehari-hari, telah mempersempit ruang hidup mereka.
Fenomena “paman” ketika ibu-ibu Dayak hanya bisa menunggu pedagang keliling bermotor atau mobil pick-up membawa kebutuhan pokok dari luar desa, kini menjadi gambaran nyata ketidak berdayaan. Padahal, tanah Dayak dikenal kaya dengan sumber pangan alami.
Data Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) menyingkap ketimpangan serius. Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah hanya menguasai 0,54 persen lahan produktif, meskipun wilayah mereka melimpah dengan hutan, tambang, dan perikanan sungai.
Dalam Diskusi Panel LPDN di Jakarta pada Jum’at, 4 September 2025, pakar etika lingkungan sekaligus mantan Menteri Lingkungan Hidup, Dr. Sonny Keraf, menegaskan bahwa program Perhutanan Sosial dapat menjadi salah satu solusi. Namun ia menekankan, program tersebut tidak boleh sebatas distribusi lahan.
“Perhutanan Sosial harus diintegrasikan dengan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Mereka perlu dibekali keterampilan mengolah lahan untuk aktivitas produktif seperti pertanian, perkebunan, peternakan, dan budidaya ikan. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga menjaga hutan yang tersisa dan merehabilitasi lahan kritis,” tegas Sonny.
Menjawab tantangan itu, LPDN di bawah naungan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) menggagas Sekolah Lapang LPDN, Pemberdayaan Perempuan dan Kaum Muda. Program ini hadir sebagai wadah pembelajaran bagi perempuan dan generasi muda Dayak.
Peserta Sekolah Lapang dibekali pelatihan usaha produktif, pemanfaatan teknologi tepat guna, serta pendampingan untuk meningkatkan nilai tambah hasil produksi. Mereka juga difasilitasi akses pembiayaan dari koperasi LPDN, perbankan, maupun lembaga mitra. Bahkan, bagi peserta yang sukses mengembangkan usaha, jalan menuju pasar telah dipersiapkan.
Skema pemberdayaan ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga Dayak, memperluas akses pendidikan bagi anak-anak, sekaligus menekan praktik pernikahan dini akibat desakan ekonomi yang kerap berujung pada persoalan sosial seperti KDRT dan perceraian.
Selain kebijakan pemerintah, Sonny Keraf juga mengingatkan bahwa ekspansi korporasi ekstraktif di bidang pertambangan dan perkebunan memperparah kondisi. Pengambilalihan tanah dan hak ulayat semakin mempersempit ruang hidup masyarakat adat.
“Kalau tidak ada upaya nyata, hutan habis, masyarakat lokal tersingkir, dan bergantung pada pemenuhan kebutuhan dari luar,” ujarnya.
Diskusi Panel LPDN ini merupakan bagian dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III dan Lokakarya Nasional (Loknas) 2025 dengan tema Penguatan Kelembagaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan.
Selain Sonny Keraf, hadir pula Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan RI yang memaparkan revitalisasi model Perhutanan Sosial Petuk Bukit, Palangka Raya.
Ada juga Prof. Meutia Hatta yang menekankan pentingnya pendidikan ekologi berbasis komunitas, serta Adian Napitupulu yang mengulas peran perempuan dan hutan sebagai kekuatan bangsa.
Sonny menutup diskusi dengan menegas kan bahwa Sekolah Lapang dan Perhutanan Sosial sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Keduanya tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada penghapusan kemiskinan dan kelaparan, menjamin akses pendidikan, menciptakan pekerjaan layak, serta mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
“Sekolah Lapang bukan hanya soal pangan dan ekonomi, tetapi juga tentang masa depan masyarakat Dayak: menjaga hutan, memberdayakan perempuan, dan memastikan generasi muda tetap berdiri tegak di tanah leluhur mereka,” pungkasnya.
- ReporterNurul Hidayah
- EditorAris Kurnia Hikmawan