
L86News.com – “Sering kali hidup akan memukulmu dengan keras, menjatuhkanmu dan menyakitimu. Bertekunlah, jangan pernah menyerah, dan lakukan yang terbaik untuk bangkit dan terus maju.” — John Cena
Peradaban manusia terus bergerak menuju kemajuan. Modernisasi yang ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan, mulai dari komunikasi, informasi, hingga pendidikan. Internet dan teknologi digital membuka ruang tanpa batas bagi manusia untuk belajar, berinteraksi, dan berinovasi.
Namun, di balik peluang besar itu, tersimpan pula tantangan yang memerlukan sikap kritis dan tanggung jawab moral, terutama dari generasi muda.
Dalam dunia pendidikan, digitalisasi membawa dua wajah: kemudahan dan kesenjangan. Di satu sisi, teknologi memungkinkan siswa mengakses sumber belajar global, mengikuti kelas daring, dan berkolaborasi lintas daerah bahkan negara.
Pembelajaran menjadi lebih fleksibel, interaktif, dan personal. Namun di sisi lain, muncul kesenjangan digital—tidak semua anak bangsa memiliki perangkat dan koneksi internet yang memadai. Ditambah lagi, ancaman penyalahgunaan teknologi, menurunnya minat baca, dan berkurangnya kemampuan berpikir kritis menjadi masalah baru yang tak bisa diabaikan.
Kebijakan “Pendidikan Bermutu untuk Semua” yang digagas Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti menjadi langkah penting dalam menjawab tantangan ini. Visi tersebut menekankan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan berkualitas tanpa terkecuali. Namun, agar visi ini benar-benar terwujud, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat.
Guru perlu dibekali keterampilan digital agar tidak tertinggal dari siswanya. Sekolah harus menjadi ruang aman bagi inovasi, bukan sekadar tempat transfer pengetahuan. Dan yang paling penting, siswa harus didorong untuk menjadi pembelajar kritis yang mampu menggunakan teknologi secara etis dan produktif.
Jika menengok kembali sejarah, semangat Sumpah Pemuda 1928 adalah bukti nyata bagaimana kaum muda mampu melahirkan perubahan besar. Di tengah keterbatasan, mereka mempersatukan bangsa dengan tekad dan kesadaran bahwa masa depan Indonesia ada di tangan mereka sendiri. Nilai-nilai cinta tanah air, persatuan, gotong royong, dan penghargaan terhadap perbedaan menjadi dasar perjuangan yang relevan hingga hari ini.
Kini, semangat itu perlu diterjemahkan dalam konteks baru: perjuangan di era digital. Generasi muda bukan lagi berhadapan dengan penjajahan fisik, melainkan penjajahan pikiran—dari arus informasi yang menyesatkan, budaya konsumtif, hingga kecanduan teknologi. Tugas mereka adalah membebaskan diri melalui pendidikan yang berkarakter, berpikir kritis, dan berlandaskan nilai kebangsaan.
Oleh karena itu, solusi yang perlu diupayakan antara lain: prtama, Pemerataan akses digital, terutama di daerah terpencil, agar semua anak bangsa memiliki kesempatan belajar yang sama.
Kedua, Pendidikan literasi digital sejak dini, agar generasi muda tidak hanya cerdas menggunakan teknologi, tetapi juga bijak dan bertanggung jawab. Ketiga, Kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, swasta, dan komunitas—untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada masa depan. Keempat, Revitalisasi nilai-nilai Sumpah Pemuda dalam pendidikan karakter, agar semangat kebangsaan tetap hidup di tengah globalisasi.
Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan cermin bagi generasi masa kini: bahwa kemajuan bangsa hanya bisa dicapai jika pemudanya bersatu, berpikir kritis, dan berani berinovasi. Di era digital ini, bentuk perjuangan berubah, tetapi semangatnya tetap sama—membangun Indonesia yang cerdas, mandiri, dan berdaulat.
Oleh: Aloisius Wisu Pareira
Guru Sosiologi SMAS St. Gregorusn Reo