Manuver Airlangga Dukung Prabowo Dinilai Picu Isu Kudeta di Golkar, Kemana Suara Golkar Sebenarnya?

waktu baca 11 menit
Jumat, 14 Jul 2023 08:27 0 139 Redaksi

PALANGKARAYA, L86News.com – Rabu 13 Juli 2023, Isu kudeta yang menyeret nama Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu menimbul kan banyak spekulasi liar di masyarakat. 

Hal ini terungkap dari pernyataan Ridwan Hisjam, bahwa Dewan Pakar Partai Golkar telah menggelar rapat di kediaman Agung Laksono di kawasan Cipinang, Jakarta Timur pada Minggu, 9 Juli 2023 kemarin.

Ada beberapa poin penting yang dibahas saat itu, salah satunya mengevaluasi keputusan Munas Golkar pada Desember 2019 lalu yang memutuskan Airlangga Hartarto sebagai capres. 

Dimana menurutnya, arah dukungan partai beringin sampai saat ini masih belum jelas, padahal hasil munas sudah keluar hampir 4 tahun lalu.

“Sampai hari ini belum menunjukkan tanda-tanda ke mana arah DPP Partai Golkar. Padahal sudah hampir 4 tahun ya. Bulan Desember ini sudah empat tahun, tapi kejelasan DPP Golkar terhadap keputusan Munas belum kelihatan,” terang Ridwan pada Senin, 10 Juli 2023 kemarin. 

Ia menilai jika ketidakjelasan arah Golkar membuat mesin partai menjadi lemah dan justru berdampak terhadap tergerusnya suara partai di beberapa hasil survei. 

“Jadi ketidakjelasan ini yang membuat semua organ organisasi menjadi loyo. Jadi liar karena tidak ada kepastian. Jadi seperti tidak ada nakhodanya kan, akan ke mana (dukungannya),” ujar Ridwan.

Disisi lain, jika ditilik lebih jauh, isu kudeta yang menyeret nama Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar adalah sinyal ketidakpuasan sejumlah pengurus dan kader yang kemudian dimanfaatkan dan dimobilisasi oleh pihak luar. 

Dalam teori konflik partai politik oleh Maurice Duverger menyebutkan jika konflik yang muncul itu sebagai akibat adanya persepsi ancaman dari luar kelompok. Ancaman ini kemungkinan besar muncul akibat adanya upaya yang sempat dilakukan oleh Airlangga Hartarto untuk membentuk poros keempat dalam hal pencapresan. 

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt konflik yang muncul juga merupakan sebuah proses untuk mencapai tujuan dengan upaya membatasi atau memperlemah saingan. Sehingga konflik internal yang terjadi di partai Golkar dapat diasumsikan sebagai upaya pihak luar untuk menekan Golkar, dalam hal ini Airlangga Hartarto agar tidak memunculkan opsi capres lainnya. 

Pasalnya diketahui, pihak Ganjar Pranowo yang merupakan capres usungan PDI Perjuangan sempat mengisyaratkan kehendak untuk gelaran pilpres 2024 nanti hanya diikuti oleh dua pasang calon dan melalui satu putaran saja. 

“Sekiranya tiga paslon, pada putaran kedua pasti akan terjadi deal-deal politik baru. Jadi kenapa tidak membangun kesepahaman di depan saja,” ujar Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan pada Kamis, 28 Agustus 2023 lalu. 

Pernyataan diatas dapat memberikan sebuah sinyal bagi publik, bahwa ada kekhawatiran dari partai penguasa, dalam hal ini PDI Perjuangan, meskipun dengan total 128 kursi atau 22,26 persen dari total 575 kursi di DPR, pihaknya tidak dapat memenang kan kontestasi politik jika terdapat lebih dari dua pasang capres. 

Hal diatas dianggap wajar, sebab PDI Perjuangan juga berkaca dari gagalnya pencapresan Ketua Umum mereka, Megawati Soekarnoputri saat pemilu serentak 2004 dan 2009 lalu diadakan dengan lima pasang capres dan dua putaran serta 3 capres dan satu putaran. Sehingga sejak pemilu 2014 dan 2019 lalu pihaknya sudah belajar dan berhasil menekan peserta pemilu hanya diikuti oleh dua pasang calon saja. 

Namun sebenarnya, selain ingin meniadakan opsi banyak capres di pilpres 2024, pihak luar yang diduga sedang mengganggu internal partai Golkar saat ini ingin agar Golkar dapat melabuhkan dukungannya kepada salah satu capres yang ada.

Meskipun berdasarkan survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 12-17 April 2023, elektabilitas Airlangga Hartarto untuk menjadi capres hanya menyentuh angka 0,7 persen, dibandingkan dengan Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan yang masing-masing menyentuh angka 28,3 persen, 27,3 persen dan 21 persen. 

Namun ada hal lain yang justru tak kalah menarik dibalik pernyataan diatas, sebab meskipun secara elektabilitas untuk menjadi capres seorang Airlangga Hartarto kalah dibandingkan kandidat lainnya, namun untuk menempati posisi sebagai cawapres dia justru memiliki potensi yang cukup besar jika dibandingkan dengan kandidat lainnya. 

Berdasarkan survei terbaru dari LSI, nama Airlangga Hartarto menjadi sosok paling potensial menjadi cawapres di Pilpres 2024. Airlangga dianggap paling memenuhi variabel yang ditentukan oleh LSI selain daripada faktor elektabilitasnya.

“Ada lima variable, pertama elektabilitas, kedua kuasa tiket pencapresan, ketiga ketokohan terutama di ormas besar karena membawa pengaruh besar, keempat pengalaman di pemerintah, dan kelima sumber dana. Ini variable dalam penentuan cawapres,” ujar Peneliti LSI Denny JA Adjie Alfaraby saat pemaparan di Kantor LSI Rawamangun, Jakarta Timur pada Jumat, 19 Mei 2023 lalu. 

Adjie menyebut dari lima variabel itu nama Airlangga Hartarto mampu memenuhi tiga kriteria diantaranya, yaitu kuasa tiket karena merupakan ketua umum partai, lalu pengalaman di pemerintahan, dan sumber dana.

Sementara itu, untuk sosok yang memenuhi dua variabel hanya Sandiaga Uno dengan pengalaman di pemerintahan dan sumber dana, serta Mahfud MD sebagai tokoh dari ormas besar dan berpengalaman di pemerintahan.

Adapun yang hanya memenuhi satu variabel yaitu Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY dan Said Aqil Siradj. AHY memenuhi kuasa tiket karena merupakan ketua umum partai dan Said Aqil Siradj merupakan tokoh dari ormas besar.

“Tak ada satu pun cawapres yang memenuhi semua variabel. Paling tinggi hanya tiga variabel yang dipenuhi,” jelas Adjie.

Merujuk paparan data diatas, dapat diasumsikan jika posisi Airlangga Hartarto lebih cocok jika dijadikan sebagai cawapres mendampingi salah satu kandidat yang ada. Namun isu kudeta yang saat ini tengah ramai diperbincangkan, sebenarnya bisa jadi menunjukkan sebuah kekhawatiran dari kelompok tertentu akan potensi kekuatan yang dimiliki oleh Airlangga Hartarto. 

Pasalnya partai Golkar saat ini menjadi bagian dari pemerintahan, dan dalam sejarahnya sejak pemilu langsung pada 2004 berlangsung, Golkar tidak pernah berada jauh dari lingkaran kekuasaan di Indonesia. Golkar yang memiliki karakter catch-all dinilai menjadi alasan kuat kenapa ia mampu bertahan dan meraih kesuksesan sampai sekarang. 

Istilah catch-all sendiri digagas Otto Kirchheimer, seorang ahli hukum asal Jerman yang hidup pada sekitar tahun 1905-1965. Menurutnya catch-all adalah suatu teori dalam melihat perubahan karakteristik yang terjadi pada sebuah partai politik. 

Secara umum, catch-all berarti menampung sebanyak mungkin kelompok-kelompok sosial yang ada. Alih-alih menyandarkan perolehan suara pada ideologinya, partai dengan karakteristik ini lebih mengandalkan program kerja maupun keuntungan bagi para anggotanya.

Keuntungan daripada catch-all sendiri, partai Golkar bisa leluasa masuk ke mana saja, tanpa perlu mengkhawatirkan batasan ideologi, kelompok, kelas, ataupun batasan sosial lain. Sedangkan bagi partai yang tidak memiliki karakteristik catch-all, mungkin akan lebih sulit untuk mengembangkan basis massa mereka disebabkan minimnya keterikatan sosial yang terbentuk setelah mereka mendeklarasikan diri menjadi pelindung bagi kelompok tertentu.

Sangat wajar, jika kemudian banyak pihak yang akhirnya memperebutkan Airlangga Hartarto, baik dengan jalan negosiasi yang baik ataupun dengan jalan yang ekstrim seperti upaya kudeta melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang hanya bisa dilakukan dengan persetujuan dari sekurang-kurangnya 2/3 pengurus Dewan Pengurus Daerah (DPD) dalam keadaan yang genting. 

Upaya kudeta itu tidak lain adalah suatu upaya dari pihak luar untuk kemudian dapat memaksa Airlangga Hartarto agar dapat merapatkan barisannya kepada salah satu koalisi capres yang ada, dan opsi yang paling kuat dari dinamika yang terjadi ialah koalisi pendukung Ganjar Pranowo dari PDI Perjuangan, bersama PPP, PSI, Hanura dan Perindo. 

Pasalnya partai Golkar menguasai 14,78 persen suara di parlemen dengan 85 kursi yang diperoleh. Ditambah dengan beberapa kadernya yang menempati posisi penting di parlemen. Seperti Bambang Soesatyo, yang menjabat sebagai Ketua MPR, Azis Syamsuddin Wakil Ketua DPR, Meutya Hafid Ketua Komisi I, Ahmad Doli Kurnia Ketua Komisi II, dan Dito Ganinduto Ketua Komisi XI. 

Di kelembagaan eksekutif, pengaruh partai Golkar juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Walaupun baru bergabung ke Kabinet Indonesia Maju pada pertengahan jalan, dengan manuver politik yang cantik partai Golkar akhirnya tetap mendapat jatah menteri pada era pemerintahan Joko Widodo.

Nama-nama kader Golkar, seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Airlangga Hartarto, Idrus Marham, Agus Gumiwang, dan baru-baru ini Dito Ariotedjo pun dipercaya untuk mengisi pos kementerian Menko Polhukam, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, Menteri Sosial, dan Menteri Pemuda dan Olahraga. 

Mesin politik yang kuat, yang saat ini dimiliki oleh Golkar dibawah kepemimpinan Airlangga Hartarto tentu pada akhirnya menjadi incaran banyak pihak. Tak heran jika banyak pihak yang saat ini memperebutkan dukungan dari partai Golkar tersebut. Bukan hanya dari PDI Perjuangan saja, koalisi lain seperti Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) yang mengusung Prabowo Subianto hingga Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mendukung Anies Baswedan terus melakukan manuver untuk menggaet suara Golkar. 

Berkaca dengan kasus kudeta atau pemakzulan yang digunakan oleh kubu Moeldoko CS kepada kepemimpinan AHY di Demokrat pada 21 Maret 2021 lalu. Kasus itu disinyalir sarat kepentingan politik, terlebih kasus kudeta ini masih terus bergulir dan memasuki babak baru dengan upaya PK yang dilayangkan oleh pihak Moeldoko dan Johnny Allen Marbun pada tanggal 3 Maret 2023, tepat sehari setelah deklarasi Anies Baswedan sebagai capres dilakukan. 

Isu hangat yang menimpa partai Golkar saat ini juga diduga memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi pada partai Demokrat. Hal ini disebabkan oleh friksi atau pergeseran kepentingan yang bermula saat terpilihnya Airlangga Hartarto yang diharapkan membawa angin segar bagi partai. Namun harapan itu belum menunjukkan hasil yang diharapkan bagi sebagian orang yang terburu-buru sehingga menimbulkan konflik atau perpecahan di internal kepengurusan. 

Tentu upaya-upaya pelemahan-pelemahan ini sama seperti strategi divide et impera atau politik adu domba zaman kolonial. Ia merupakan kombinasi strategi orang belanda dalam hal politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Sehingga jika dikaitkan dengan situasi yang ada, diharapkan upaya kudeta itu nantinya dapat mengkondisikan pilpres 2024 dengan dua calon dapat terlaksana. 

Namun berdasarkan hukum kekuasaan pasal 2, 3 dan 6 karya Robert Grenee, setidaknya tindakan Airlangga Hartarto dan isu kudeta terhadap dirinya adalah bagian dari strategi Airlangga sendiri untuk menciptakan ruang konflik untuk memanfaatkan musuh-musuhnya agar dapat menyembunyikan niat utamanya. Ia ingin agar lebih terlihat menonjol dengan menekankan antusiasme alih-alih akal sehat dan cara berpikir jernih.

Lantas, kemudian muncul pertanyaan dari publik kemana sebenarnya niat besar seorang Airlangga Hartarto dalam membawa partai Golkar pada pilpres 2024 nanti. Banyak kemungkinan-kemungkinan besar yang akan terjadi, salah satunya kemungkinan jika sebenarnya Airlangga Hartarto akan berlabuh mendukung Prabowo Subianto nantinya sebagai cawapres. Sebab, PKB yang sempat diisukan bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PAN dan Golkar, pada akhirnya sudah lebih dahulu menyampaikan dukungannya. 

“Yang pertama bahwa PKB mengusung Prabowo sebagai capres. Itu harus dicatat,” kata Faisol Reza, Ketua DPP PKB usai pertemuan antara tim inti pembentukan koalisi besar dengan Partai Golkar di Resto Pulau Dua, Jakarta Pusat pada Rabu, 10 Mei 2023 lalu. 

Sementara PAN, disisi lain masih menunggu momentum untuk segera mengumumkan dukungannya. Sebab bagaimanapun PAN masih merupakan bagian dari KIB, dimana Golkar bertindak sebagai ‘Kaka Tertuanya’. Sehingga keterikatan hubungan ini, menjadikan posisi Golkar pada akhirnya menunjukkan kekuatannya sebagai pemilik suara kedua terbesar dalam pemilu 2019 kemarin. 

“Kalau soal capres dari PAN sejauh ini memang mengarah ke Pak Prabowo Subianto atas koalisi 4 partai, yaitu Gerindra, PAN, Golkar, PKB,” ujar Fikri Yasin selaku Wasekjen PAN saat dimintai konfirmasi media pada Senin, 26 Juni 2023 lalu. 

Kemungkinan-kemungkinan inilah yang pada akhirnya mengantarkan kepada satu kesimpulan, bahwa Airlangga Hartarto tidak terancam kedudukannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar akibat adanya isu munaslub. Kemudian Airlangga Hartarto memiliki potensi yang besar untuk mendapatkan posisi cawapres dan bukan capres. Setelah itu, Golkar pada akhirnya, cepat atau lambat, ia akan mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo Subianto. 

Dukungan tersebut bukan tanpa alasan, hal ini dapat terlihat dari kedekatan emosinal yang terbangun antara Airlangga Hartarto dan Prabowo Subianto. Diketahui Prabowo juga merupakan kader Golkar dulunya, sebelum memutuskan mendirikan Partai Gerindra pada 6 Februari 2008 lalu. 

Kedekatan emosinal itu juga diamini oleh Juru Bicara Partai Golkar, Tantowi Yahya, saat mengonfirmasi kedekatan partainya dengan Gerindra. Ia menjelaskan jika pertemuan Airlangga Hartarto dengan Prabowo Subianto di kediaman Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Aburizal Bakrie di momen Lebaran ‘Idul Fitri menjadi sinyal kedekatan kedua partai.

“Yang perlu dicermati itu pertemuan Prabowo dengan Airlangga dan Aburizal Bakrie pada hari lebaran. Golkar dan Gerindra itu chemistrinya sama karena berasal dari satu rahim,” kata Tantowi menjelaskan. 

Sinyal-sinyal politik inilah yang menjelaskan kepada publik bahwa Airlangga Hartarto dan Prabowo Subianto masih menunggu negosiasi dengan partai koalisi pendukung lainnya, seperti KIR dan KIB serta beberapa partai lainnya yang belum tergabung pada koalisi manapun, untuk pada akhirnya mendeklarasikan diri sebagai pasangan capres dan cawapres di pilpres 2024 mendatang.

Apabila deklarasi pencapresan antara Airlangga Hartarto dan Prabowo Subianto itu nantinya benar-benar terjadi, maka peta politik di pilpres 2024 nanti akan berjalan dengan tiga pasang capres dan dua putaran. Sehingga pada putaran kedua nanti akan menjadi kerugian besar bagi PDI Perjuangan yang tidak berpengalaman dalam hal ini. Sebab Anies Baswedan dan KPP sama-sama memiliki kedekatan yang baik dengan Prabowo, baik secara pribadi maupun kepartaian. Sehingga dua kekuatan besar inilah yang dinilai akan mengulang sejarah kelam PDI Perjuangan saat harus menelan kekalahan di pemilu serentak pertama kali di 2004 silam. 

Reporter : Aris Kurnia Hikmawan, S.H

LAINNYA