LAMPUNG TIMUR, L86NEWS.COM – Pada tahun 1970, muncul rencana pembangunan proyek waduk danau Way Jepara berikut saluran irigasi yang akan mengairi 6.000 hingga 7.000 Ha areal pesawahan. Tahun 1971 dilakukan survey kelayakan oleh Direktorat Jenderal Agraria bersama SAE (Survei Agro Ekonomi)
Berdasar peta penggunaan tanah infeksi Land Use saat itu, diketahui bahwa penggunaan lahan di bagian hulu Danau Way Jepara membahayakan ketersediaan sumber air Danau dari sekitar rawa Way Abar. Kemudian memunculkan gagasan untuk melakukan tindakan dan upaya melestarikan daerah tangkapan air untuk melindungi sumber-sumber air Danau Way Jepara.
Pada tahun 1971 ini pula, Dinas Kehutanan mulai menurunkan polisi khusus kehutanan ke Gunung Balak. TIm ini memerintahkan penduduk mengosongkan kawasan hutan register 38. Rumah-rumah penduduk, sekolah dan tempat ibadah di bongkar dan dirobohkan, tanaman pertanian pun di cabuti.
Tugas Polsus Kehutanan di perkuat dengan surat Bupati Lampung Tengah kepada Camat Labuhan Maringgai, Abdul Muis dan Kepala Desa Sadar Sriwijaya tanggal 19 September 1971 dan di tandatangani Sekda Sirajudin Djahidin dan Surat Gubernur ZA Pagaralam nomor G/196/71 tanggal 21 Oktober 1971.
Isi kedua surat tersebut adalah perintah untuk segera mengosongkan kawasan hutan register 38. Dalam kedua surat itu disebutkan bahwa tujuan pengosongan kawasan hutan untuk menjaga debit air danau Way Jepara.
Menindaklanjuti perintah pengosongan tersebut aparat pemerintah keamanan dan kehutanan setempat dibantu dua peleton pasukan sipil hansip yang telah dilatih selama 20 hari membentuk tim pengosongan beranggota sekitar 350 orang.
Tim ini mengharuskan penduduk segera pergi meninggalkan lahan dan pemukiman mereka. Sasaran pengosongan pertama adalah pedukuhan 4 Sri sekitar 350 KK. Dari dukuh ini, disisipkan program transmigrasi umum ke Way Abung, Lampung Utara. Sebagian mengungsi, sebagian lagi tetap bertahan dan mengadukan ke berbagai lembaga di Jakarta.
Kepala Dukuh Srikaloko Abdul Rasyid, Kepala Dukuh Srikaton Matorii dan 2 tokoh warga lain berangkat mengadu ke markas RPKAD (Resimen Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat) Cijantung Jakarta. Pangaduan juga di sampaikan ke Kopkamtib, Menhankam dan DPR RI.
Menanggapi pengaduan tersebut, 2 anggota RPKAD mengunjungi Dukuh Sidodadi. Setelah itu, pada Februari 1972, datang rombongan dari Jakarta Brigjen Samiyono dan Mayor Ibnu. Dari Hankam Supeno, dari FKP, DPR RI di dampingi Letkol Ruslan dari Korem 043 Gatam Lampung dan Kapten Kasiyo dari Kodim 0411 Lampung Tengah.
Rombongan ini datang untuk melihat keberadaan lahan yang digarap penduduk dan melakukan dialog dengan warga Srikaton dan Sidodadi. Namun, kunjungan itu tak banyak membantu warga. Dan sekitar Bulan April 1972, tim pengosongan terdiri dari aparat keamanan Koramil, Polsek dan desa kembali memerintahkan untuk meninggalkan Gunung Balak.
Sebagian warga pergi mengungsi, tetapi banyak juga yang tetap bertahan dan terjadi ketegangan serta bentrok fisik antara tim pengosongan dengan warga yang bertahan. Bentrokan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa.
Bentrokan dan ketegangan masih terjadi hingga Bulan Mei 1972. Ketika satu regu tentara Angkatan Darat datang dan membangun pos yang berhadapan dengan pos tim pengosongan di Desa Sidorejo. Kedatangan regutentara berhasil menenangkan warga yang bertahan dan meredakan ketegangan yang terjadi.
Dengan meredanyaketegangan, warga kembali menggarap lahan dan membangun permukiman. Banyak warga yang sudah mengungsi kembali datang dmenggarap Iahan. Bantuan pihak Iuar juga di terima penduduk dari Tim Karya Bakti Golkar berupa beras, paku, obat obatan dan melayani pengobatan gratis selama dua hari.
Tim Karya Bakti ini ditingkat pusat diketuai John DP Sïmamora, tingkat propinsi R Sudarsono dan tingkat kabupaten Awet Abadi. Pada tanggal 4 Agustus 1972, Harian Angkatan Bersenjata memuat berita berjudul “Kasus Gunung Balak Ditangani Pusat” dengan menyebut dikeluarkannya surat keputusan bersama Meteri Dalam Negeri dan Meteri Transmigrasi dan Koperasi No. 320 dan No. 124 Tahun 1972.
Surat keputusan tersebut memuat tentang Pembentukan Panitia Penyelesaian Persoalan Gunung Balak diketuaiDitjen Transmigrasi R. Subiyantoro, Sekretaris Kol. Inf. Suyono dari Depdagri, dan anggota Ditjen PUOD, Ditjen Agraria, Ditjen PengairanDasar, Ditjen Kehutanan, dan Hankam. Namun tidak di sebutkan apa kerja panitiaini.
Tetapi, tanggaI 23 Desember 1972, Gubernur Lampung Sutiyoso, pengganti ZA Pagaralam mengeluarkan surat keputusan No. G. 180/D/HKIXII/1972 yang isinya Iarangan bagi siapapun untuk memasuki wilayahGunung Balak tanpa izin Gubemur.
Berita yang mengembirakan penduduk terjadi tanggal 20 April 1974, saat Bupati Lampung Tengah A.S. Imam Prabu mengeluarkan SKNo. 8/I.K./P/Pem/74 yang isinya mengesahkan pedukuhahan atau umbulanplong di kawasan Gunung Balak menjadi kampung (desa) persiapan meliputi Srikaton, Srimulyo, Srikaloka, Sriwidodo, Bandung Jaya, Ogan Jaya, Sidodadi, Sidorejo, Brawijaya, Mojopahit, Way Abar dan Yabakti.
Pada tanggal 13 Juni 1974, Gubemur Lampung Sutiyoso mengeIuarkan SK No.G/85/D.I/HK/74 menetapkan pembentukan Kecamatan Perwakilan Gunung Balak yang mencakup satu Desa Definitif Bandar Agung dan 12 desa persiapan. Semua desa terletak di dalam kawasan Register 38 GunungBalak, yang semula terpisah dalam tiga kecamatan, yaitu Sukadana (KampungYabhakti), Way Jepara (Kampung Way Abar), selebihnya Jabung dan Labuhan Maringgai.
Menindaklanjuti keputusan pembentukan kecamatan, tanggal 24 Juni 1974, Gubemur Sutiyoso mengeluarkan SK No. G/88/D.I/HK/1974yang menetapkan ±11.500 ha areal dibagian hulu Danau Way Jepara sebagaidaerah penampung air hujan (catchment area). Dari luas itu 4.500 ha berada di luar batas Register 38, dan selebihnya merupakan bagian dari 19.680 ha Register 38.
Tahun 1976 melalui SK Gubemur yang Iain, luas daerah tampung air Way Jepara diubah menjadi 12.113 ha. Tahun 1984 MenteriKehutanan melalui SK No. 213/KPTS-VII/84 tangga 25 Oktober 1984 menyetujui penambahan luas kawasan hutan Gunung Balak dari 19.680 menjadi 24.248,30 ha.
Tanggal 27Juli 1974, Bandar Agung dijadikan ibu kota kecamatan. Pada hari itu juga Bupati AS Imam Prabu melantik Lukman Hakim Sebagai Camat Gunung Balak dan 13 Kepala Kampung. Dalam pengarahannya iameminta warga mulai menanami lahan garapan dengan tanarnan keras seperticengkeh, kopi, kelapa, damar, mahoni, dan sebagainya
Pada saat itu jumlahpenduduk 13 kampung tersebut adalah 11.993 KK atau 56.356 jiwa terdiri dariSuku Jawa, Sunda, Bali, Ogan (Sumatera Selatan), dan Lampung. Menyusul peresmian desa itu, pembangunan berbagai sarana dan prasarana teus di laksanakan, seperti jalan, balai desa, sekolah, dan tempat-tempat ibadahsep’erti masjid, gereja, dan pura.
Tahun 1974 sengketa antara Dinas Kehutanan dan Basri Sutan Kencana disidangkan di Pengadilan Negeri Metro. Pada tanggal 29 Juli1974, Pengadilan Negeri Metro memenangkan Basri. Areal yang di sengketakan dinyatakan berada di luar kawasan hutan Gunung Balak dan sah sebagai milik Basri Sutan Kencana. Keputusan itu kemudian di perkuat Pengadilan Tinggi Palembang.
Pada tahun 1974 itu pula, pemerintah daerah sudah menyusun rencana dan menyediakan dana untuk memindahkan sebanyak 5.503 KK penduduk Gunung Balak ke lokasi penempatan di Way Abung, Sungkai, Banjit Lampung Utara dan Palas Lampung Selatan. Kegiatanpemindahan penduduk memanfaatkan program transmigrasi umum.
Rencana tersebut ternyata di batalkan dengan instruksi bersama Mendagri Amir Mahmud dan Mentranskop Subroto nomor 6 tahun 1976 yang memerintahkan pembatalan pemindahan warga gembala dan mengganti dengan 3500 apakah transmigrasi dari Jawa tengah dan Jawa Timur.
Masih penasaran, tunggu ulasan berikutnya. Artikel di kutip dari Radar 24