Haedar Nashir-Abdul Mu’ti, Duet Penjaga Keistiqomahan Muhammadiyah

waktu baca 4 menit
Senin, 21 Nov 2022 16:03 0 93 Redaksi

SURAKARTA, L86News.com – Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta, Jawa Tengah, telah berakhir. Hasil yang didapat cukup menggembira kan. Mulai dari acara yang tertib, sidang yang teratur, keputusan berdasar mufakat, hingga hingar bingar yang penuh kebahagiaan.

Tapi di antara sekian hal soal Muktamar Muhammadiyah, poin terpenting yaitu terpilihnya Ketua dan Sekretaris Umum. Saya katakan terpenting, karena dua posisi inilah yang menentu kan bagaimana arah ormas Islam yang lebih suka menyebut diri sebagai persyarikatan ini berjalan ke depan.

Dua posisi ini resmi diduduki oleh Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti. Dua nama yang sebenarnya tokoh lama Muhammadiyah. Mungkin bagi pendamba perubahan, nama lama bukan hal menarik. Tapi untuk dua nama ini, saya katakan harus dikecualikan.

Beberapa alasan mengapa perlu pengecualian, karena rekam jejak keduanya yang begitu cemerlang dalam dunia akademis maupun pergerakan Muhammadiyah di era kontemporer. Muhammadiyah berkembang dalam sunyi namun tak sepi karya. Bahkan terbentang di segala bidang.

Dalam beberapa tahun terakhir, Muhammadiyah mungkin jarang sekali tersorot. Tenang, tanpa pernyataan meledak-ledak. Haedar maupun Mu’ti tak banyak beri komentar soal kondisi politik praktis kekinian dari bangsa ini. Pun soal politik, keduanya memilih untuk tak banyak bicara.

Namun itu justru menjadi semacam legacy akan posisi keduanya sebagai petinggi ormas Islam tertua di Indonesia. Bahwa dengan tenangnya Haedar dan Mu’ti, Muhammadiyah justru semakin disegani.

Pun ketika mendapat “serangan”, dua petinggi yang lebih menunjukkan diri sebagai pengabdi ini memilih tak berkomentar. Hanya bicara seadanya, mengingatkan kembali tentang sejarah berdirinya Republik hingga bisa bertahan sampai sekarang.

Pun demikian, Haedar dan Mu’ti adalah cerminan langsung bagaimana warga Muhammadiyah berkepribadian. Selalu aktif bergerak dengan segala kemampuan yang dimiliki. Tak perlu menunggu mampu, yang terpenting Amanah dijalankan.

Sebagai seorang tokoh yang disegani di Muhammadiyah, nyatanya Haedar tak pernah tinggi diri. Pergi ke manapun dengan kendaraan seada nya. Tak risih naik transportasi umum jika harus dinas ke daerah. Juga tak minta diistimewakan ketika berada di ruang publik. Tak kebagian shaf saat mendengar khotbah Jumat di suatu masjid, Haedar tak canggung duduk di tangga masjid.

Pun dengan Mu’ti, seorang guru besar yang lebih suka pergi ke manapun tanpa asisten. Cukup laptop dalam ransel menjadi teman baginya dalam beraktivitas. Pun ketika bepergian, tak pernah ada yang namanya kemewahan.

Bahkan, Mu’ti pernah membuat publik terkejut lewat keputusannya menolak tawaran untuk menduduki jabatan Wakil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Sebuah jabatan mentereng yang ternyata tidak membuatnya terlena. Dia lebih memilih tetap mengajar di almamaternya, UIN Syarif Hidayatullah, sekaligus melanjutkan tugasnya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Mu’ti terkenal aktif mengembangkan sayap persyarikatan. Karakternya yang terbuka dan toleran menjadikan Muhammadiyah bisa dikenal semua kalangan. Bahkan oleh non-Muslim sekalipun.

Di dalam negeri saja, Muhammadiyah di masa kepemimpinan Haedar dan Mu’ti sukses membuka lembaga pendidikan di daerah dengan basis warga non-Muslim. Siswanya adalah non-Muslim dan tidak dipaksa untuk belajar materi Agama Islam. Mereka tetap mendapat pendidikan agama sesuai keyakinannya, hanya ditambah materi Kemuhammadiyahan.

Belum lagi di luar negeri. Sudah berapa banyak Cabang Istimewa Muhammadiyah berdiri. Bahkan satu prestasi yang membanggakan, Universitas Muhammadiyah akhirnya punya kampus di Malaysia. Namanya, Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM). Ini menjadi kampus pertama Ormas Islam Indonesia di luar negeri.

Melihat konteks saat ini, tampaknya ujian bagi Haedar dan Mu’ti akan lebih berat. Kita tahu, Indonesia tengah bersiap menyambut tahun politik. Sementara, konstelasi pilpres yang segera datang cukup pelik lantaran munculnya politik kebencian imbas Pilgub DKI Jakarta 2017 yang tidak tuntas hingga saat ini.

Keputusan yang diambil Muhammadiyah kala itu pun tepat, menjauh dari panasnya politik dengan mengimbau warganya untuk tidak dukung mendukung dengan membawa nama persyarikatan. Pilihan politik diserahkan sepenuhnya kepada warga secara pribadi.

Dengan kontestasi yang sudah terasa panas di awal, keistiqomahan Muhammadiyah untuk bergerak di jalannya kembali diuji. Tetapi saya yakin, Haedar dan Mu’ti akan mampu kembali menjalankan perannya sebagai penjaga keistiqomahan tersebut.

Reporter : beq/beritajatim

LAINNYA