PONOROGO, L86NEWS.COM – Tiga pusaka, yakni Tombak Kiai Tunggul Nogo, Sabuk Angkin Cinde Puspito dan Payung Songsong Kiai Tunggul Wulung dulunya milik pendiri Ponorogo, Raden Batoro Katong. Saat ini tiga pusaka ini selalu dikirabkan jelang 1 Muharram atau 1 Suro.
Tombak Kiai Tunggul Nogo dan Payung Songsong Kiai Tunggul Wulung merupakan pusaka dari Kerajaan Majapahit, dengan pemiliknya Raja Brawijaya kelima. Sementara untuk pusaka Angkin Cinde Puspito merupakan sabuk yang selalu dipakai oleh Raden Batoro Katong.
Dua pusaka milik Kerajaan Majapahit itu hingga bisa ke Ponorogo karena dibawa oleh Eyang Joyodrono dan Joyodipo. Keduanya merupakan orang kepercayaan dari Raden Brawijaya kelima. Eyang Joyodrono dan Joyodipo harus lari ke Ponorogo, sebab saat itu di Majapahit sedang terjadi perebutan kekuasaan.
“Eyang Joyodrono dan Joyodipo itu dipercaya oleh Eyang Brawijaya kelima untuk merawat kedua pusaka Tombak Kiai Tunggul Nogo dan Payung Songsong Kiai Tunggul Wulung,” kata salah satu Budayawan Ponorogo, Sunarso, Senin (1/8/2022).
Saat ini, Eyang Brawijaya kelima berpesan kepada Joyodrono dan Joyodipo bahwa kalau ada orang yang mengetahui keberadaan dua pusaka itu merupakan keturunannya. Sehingga nantinya bisa diberikan kepada orang tersebut.
Sampai di Ponorogo, dua orang kepercayaan Eyang Brawijaya Kelima itu bertapa di sebuah gua. Nah, dalam suatu kesempatan keduanya bertemu dengan Raden Batoro Katong, Patih Seloaji dan Ki Ageng Mirah.
“Saat bertemu di Goa Segolo-golo itu, Eyang Batoro Katong tahu kalau ada tombak Kiai Tunggul Nogo. Sehingga eyang Joyodrono dan Joyodipo menyerahkan dua pusaka itu kepada Batoro Katong yang ternyata masih keturunan Brawijaya kelima,” katanya.
Kehebatan tombak Kiai Tunggul Nogo itu terbukti saat Raden Batoro Katong diserang oleh Ki Ageng Kutu. Logikanya, Raden Batoro Katong yang hanya memiliki pasukan 40 orang, akan kalah dengan pasukan Ki Ageng Kuta yang berjumlah sebanyak 200 orang. Dibantu oleh Patih Seloaji dan Raden Batoro Katong memakai tombak itu, akhirnya bisa menghadang serangan dari pasukan Ki Ageng Kutu tersebut.
“Kesakitan tombak itu teruji saat berhasil menghadang serangan dari Ki Agung Kutu,” ungkapnya.
Sunarso menambahkan bahwa sebenarnya pusaka Kabupaten Ponorogo ada empat. Selain 3 pusaka milik Eyang Batoro Katong itu, saat bupati Cokronegoro ada tambahan pusaka yakni Keris Kiai Kodok Ngorek.
Keris itu sebelumnya milik Keraton Kasunanan Surakarta/Solo. Karena bupati Cokronegoro, kakeknya merupakan menantu Pakubuwono III dan diberi keris Kiai Kodok Ngorek. Nah, keris itu kemudian diberikan ke bupati Cokronegoro.
“Namun, keris Kiai Kodok Ngorek itu tidak ditemukan lagi setelah pemerintahan bupati Cokronegoro kedua,” ungkap Narso.
Hingga saat ini, dirinya tidak tahu keberadaan keris Kiai Kodok Ngorek tersebut. Namun, sejarah mencatat bahwa keris itu memang benar-benar ada. Hal itu dikatakan Sunarso tidak mengada-ngada. Ia harus pergi ke Solo, dan menemukan literatur keris Kiai Kodok Ngorek di perpustakaan Keraton Kasunanan Solo.
“Keris Kiai Kodok Ngorek meski tidak tahu ada dimana, namun bukti sejarahnya ada di perpustakaan milik Keraton Kasunanan Solo. Saya pernah ke sana dan menemukan literaturnya,” pungkasnya.
Reporter : End/Ted/Beritajatim