Sejarah Penghapusan Kecamatan Gunung Balak, Simak Ulasannya Disini

waktu baca 4 menit
Kamis, 30 Des 2021 01:57 0 262 Redaksi

LAMPUNG TIMUR, L86NEWS.COM – Mulai tahun 1980 penduduk kembali mendapat berita bahwapemerintah akan mengosongkan dan mereboisasi kawasan hutan Gunung Balak di mulai dari catchment area (wilayah tangkapan air) di huluDanau Jepara. Penduduk akan dipindahkan melalui prograrn transmigrasi lokal. 

Aparat pemerintah kemudian mulai memerintahkan warga untuk menghentikan kegiatan penggarapan lahan dan mengharuskan wargamembongkar rumah-rumah mereka. Sebagian penduduk Yabakti, kemudian mulai meninggalkan lokasidan secara bergelombang pindah ke Desa Megan Sakti di Musi Rawas, Sumatera Selatan. 

Hingga Maret 1981 sudah 196 KK atau 735 jiwa warga Yabakti yang datang ke Megan Sakti. Mereka di tampung di rumah-rumahpenduduk setempat. Perpindahan itu sempat menjadi masalah antarapemerintah daerah Sumatera Selatan dan Lampung. 

Pada tahun 1983 dan 1984, secara bertahap sebanyak 2000 KK warga Yabakti diberangkatkan ke lokasi pemukiman transmigrasi lokal Pakuan Ratu, Banjit, dan Mesuji. Ada juga penduduk Yabakti yang bertahan, dan akibatnya 123 rumah merekadirobohkan atau dibongkar secara paksa oleh para petugas.

Sejak 1983-1984 inilah secara paksa dan terus menerus penduduk Gunung Balak di pindahkan. Sejalan dengan pemindahan penduduk, desa-desa di kawasan Gunung Balak dihapuskan melalui SK Gubemur Yasir Hadibroto. SK Gubemur No. G / 245 / B.IIII / HK / 1984 menghapus DesaBandung Jaya, Way Abar, Ogan Jaya, dan Yabakti. 

SK No.G/281/B.ITI/HK/1986 menghapus Desa Srikaton, Srimulyo, Srikaloka, Sriwidodo, dan Sidodadi. Dengan SK ini pula, Kecamatan Perwakilan Gunung Balak ikut di hapus. Pendataan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Lampung tahun 1986 menyebut, kawasan hutan lindung Gunung Balak masihdihuni oleh 22.248 KK penduduk. 

Sedangkan jumlah penduduk yang sudah dipindahkan sejak tahun 1980an hingga 1989/90 adalah 12.875 KK. Pemindahan penduduk masih terus dilakukan, meski tersendat-sendat. Pada tahun 1991, penduduk yang masih bermukim di kawasan Gunung Balak berjumlah 13.712 KK, dan meski pemindahan terus di lakukan hingga tahun 1997, jumlah penduduk tetap saja sekitar 13 ribu KK.

Tahun 1991 Basri Sutan Kencana melalui kuasa hukum Edwar Sihombing SH mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Tanjung karang dan meminta ganti rugi sebesar Rp 17 milyar kepada Gubemur Lampung dan Menteri Kehutanan, yang telah menetapkan 3.200 ha tanahnya sebagai kawasan hutan lindung Gunung Balak.

Tanggal 29 Januari 1992, setelah 8 bulan bersidang, Pengadilan Negeri Tanjung Karang memutuskan menolak gugatan tersebut (Lampost 31/1/92). Kemudian, sebanyak 162 KK warga bekas Desa Way Abar melalui kuasa hukum Dr. Muchtar Pakpahan SH menggugat dan menuntut pembayaran sebesar Rp 4 milyar kepada Menteri Kehutanan dan Gubemur Lampung di Pengadilan NegeriJakarta Pusat (Lampost, 1/4/91). 

Para penggugat adalah pemilik 630 ha lahan yang di beli dari Basri Sutan Kencana, yang pada tahun 1980-an di haruskan meninggalkan lokasi tanpa gantirugi. Keputusan akhir Pengadilan Negeri ]akarta Pusat dalam kasus ini adalah menolak gugatan warga.

Pada bulan Pebruari 1991, petugas kehutanan dan transmigrasi mendatangi Desa Mojopahit, yang berpenduduk 1.141 KK, dan menyampaikan rencana pengosongan kawasan hutan dengan pemindahan penduduk melalui program transmigrasi lokal. 

Untuk menghindari pembongkaran rumah secara paksa seperti biasa dilakukan petugas, penduduk segera mempersiapkan diri membongkari rumahnya dan membuat gubuk untuk bermukim sementara dan menghentikan kegiatan bertani. Tetapi pemindahan tidak segera dilaksanakan karena ternyata lokasi pemukiman baru belum di siapkan. 

Ratusan KK warga yang sudah menunggu pemberangkatan menjadi terlantar. Hal ini mendapat sorotan dan kritik keras dari beberapa Anggota DPRD Lampung seperti Kadarsyah Irsyad, Baharuddin Matondang, Supardjo, dan Ruslan Atmo. Sampai tahun 1994 pemberangkatan penduduk dari Mojopahit ini belum juga tuntas. 

Setelah seperempat abad pelaksanaan pengosongan penduduk dan penghapusan desa-desa di kawasan Gunung Balak, tahun 1995 masih terdapat lima desa dengan jumlah penduduk 8.033 KK (37 ribu jiwa) menempati sekitar 7.500 ha lahan. 

Desa yang termasuk dan terletak di dalam kawasan hutan lindung Gunung Balak yaitu Desa Bandar Agung (3.180 KK), Sidorejo (1.300 KK), Brawijaya (1.337 KK), Girimulyo, dan Bauh Gunung Sari. Sebenarnya penduduk kelima desa ini sudah merasa tenang dan yakin desanya tidak terkena pengosongan hutan. 

Namun keresahan muncul pada awal tahun 1995, warga menerima dan diminta mengisi kartu pengenal perambah hutan dan peladang berpindah. Tentu saja warga menolak mengisi kartu ini karena akan berarti mengakui sebagai perambah hutan dan isyarat persetujuan untuk di pindahkan.

Penolakan warga kali ini memiliki dasar hukum kuat, karena warga Bandar Agung telah memiliki sertiftkat dan surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan Kantor Agraria (BPN) Lampung Tengah. Awalnya Kepala Kantor Wilayah Kehutanan Lampung Ir. ASM Panjaitan menolak bukti yang diajukan warga. 

la menyatakan bahwa sertiftkat tersebut tidak sah atau palsu dan penduduk tetap di nyatakan sebagai perambah hutan dan akan di pindahkan atau diusir (Lampost 16/3/95). 

Penolakan Kakanwil Kehutanan Lampung atas bukti kepemilikan tanah warga Gunung Balak mendapat reaksi keras dari berbagai pihak termasuk BPN Lampung Tengah, Komnas HAM, dan Menteri Lingkungan Hidup. 

Kepala BPN Lampung Tengah mengakui bahwa pada tahun 1981, pihaknya telah menerbitkan 900 sertifikat untuk 1.000 bidang lahan di desa Bandar Agung. Proses penerbitan telah memenuhi prosedur hukum dan telah mendapat persetujuan instansi kehutanan pada waktu itu (Lampost 20/3/95).

Sumber : Radar24

LAINNYA