Alasan Para Kiai Membentuk Gerakan Pemuda Ansor, Ini Penjelasannya

waktu baca 6 menit
Sabtu, 27 Nov 2021 11:25 0 115 Redaksi

LAMPUNG TIMUR, L86NEWS.COM – Gerakan pemuda Anshor dibentuk oleh para ulama dengan melandaskan keputusannya kepada kaidah fikih.

Segala sesuatu memiliki batas. Halaman rumah, misalnya, batasnya adalah pagar. Kebun dan pekarangan dibatasi oleh pagar.

Wajah dibatasi oleh rambut di bagian atas, dan dagu di bagian bawah. Serta telinga di sisi kanan dan kiri. Tangan dibatasi dengan lengan. Paha dibatasi oleh lutut.

Misalnya, dalam berwudu. Orang harus memulai dengan membasuh wajah dengan air, lalu membasuh kedua tangan, mengusap rambut kepala, dan diakhiri dengan membasuh kedua kaki.

Masing-masing perbuatan di atas harus dilakukan secara sempurna. Membasuh tangan misalnya, disyaratkan harus mencakup seluruh apa yang disebut ‘tangan’ dalam tradisi syariat.

Yaitu dari ujung jari hingga siku-siku. Membasuh siku-siku tidak akan sempurna tanpa membasuh bagian di atasnya (baca: lengan).

Para ahli fikih menghukumi bahwa membasuh lengan yang bertemu langsung dengan siku hukumnya wajib. Sama seperti hukum membasuh siku atau tangan itu sendiri. 

Sekalipun tidak ada nash –teks Alquran dan hadis yang mewajibkan, namun membasuh lengan di atas siku adalah untuk mendukung kesempurnaan amalan membasuh tangan.

Demikian pula membasuh wajah. Batas yang disebut wajah adalah dimulai dari tempat tumbuhnya rambut di bagian atas wajah, dagu di bagian bawah, dan daun telinga di kanan dan kiri wajah. Itulah bagian wajah yang harus dibasuh dalam berwudu.

Namun demikian, wajib pula membasuh sebagian rambut yang berdekatan dengan wajah, daerah di bawah dagu, dan daun telinga.

Rambut, dagu, daun telinga, serta lengan yang menempel dengan siku tangan adalah batas. Ia seperti pagar yang menjadi dari sebuah halaman.

Hukum pagar sama dengan yang dipagari. Hukum membasuh rambut dan dagu yang menjadi batas wajah sama dengan membasuh wajah itu sendiri. Dalam bahasa para ahli fikih,
الْحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَه

“Pagar sesuatu mempunyai hukum yang sama dengan yang dipagari“

Logika batas sesuatu hukumnya sama dengan perkara yang dibatasinya atau pagar sesuatu hukumnya sama dengan perkara yang dipagarinya adalah logika umum dalam ilmu fikih.

Logika atau cara berfikir ini didasarkan kepada sebuah hadis Nabi Saw. yang mengatakan,

الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيه

Perkara yang halal telah jelas, perkara haram telah jelas. Di antara keduanya terdapat perkara yang samar. Banyak orang yang tidak menyadari. Barangsiapa menjauhi yang samar, maka dia telah menjaga agama dan harga dirinya.

Barangsiapa terjatuh dalam perkara yang samar, maka dia telah jatuh ke dalam perkara yang diharamkan. Seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar lahan yang dilarang.

Dikhawatirkan dia akan kebablasan menggembala di lahan yang diharamkan.

Dalam hadis di atas, Rasulullah Saw. melarang mendekati wilayah haram karena khawatir umatnya akan terjatuh dalam perkara yang diharamkan.

Seperti seorang gembala yang terbiasa menggembala di sekitar lahan terlarang. Bisa jadi di kemudian hari dia akan masuk ke dalam lahan terlarang. Sekitar perkara haram disamakan dengan perkara haram itu sendiri.

Dari kaidah ini, para ulama mengembangkan teori bahwa sekitar perkara wajib adalah wajib. Seperti dalam kasus membasuh daerah sekitar wajah dan sekitar tangan yang wajib pula dibasuh ketika berwudu. Para ulama membuat kaidah, harimul wajib wajibun.

Sekitar perkara wajib, hukumnya juga wajib. Dalam ungkapan lain, para ulama menyatakan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajibun, perkara yang menjadi penyempurna kewajiban, hukumnya juga wajib.

Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan pengertian yang sama. Kaidah ini telah menjadi cara berfikir yang umum dipakai di kalangan ahli fikih. Ia menjadi logika berfikir yang menuntun para ahli fikih dalam merespon persoalan-persoalan kehidupan.

Para Kiai NU, yang dididik dalam tradisi fikih yang kuat, tidak terlepas dari penggunaan cara berfikir semacam ini. Baik dalam merespon persoalan ibadah, sosial maupun politik.

Dalam aktifitas pergerakan sosial-politik di masa lalu, kaidah ini telah menjadi salah satu cara berfikir orang-orang NU. Misalnya dalam pendirian Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor). GP Anshor adalah pagarnya NU.

Pagar yang menjaga para ulama, organisasi, aktifitas, agenda, dan ideologi ulama NU. Sebagai pagar, GP Anshor memiliki hukum yang sama dengan kehadiran NU. Yaitu wajib.

Kehadiran NU dikatakan wajib karena harus ada kekuatan terorganisir yang menjaga eksistensi agama yang benar, yang berdasar pada paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja).

Saat dimana Islam ala Ahlus Sunnah Wal Jamaah mendapat tantangan yang semakin berat dengan berkembangnya paham-paham baru, seperti Wahabisme yang didukung sistem kolonial yang kapitalis-liberal.

Kehadiran NU dalam awal sejarahnya adalah sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial-keagamaan).

Namun kemudian harus terlibat langsung dalam politik praktis karena tuntutan keadaan yang tidak bisa hanya dengan sekadar menitipkan aspirasi kepada pihak lain yang terbukti tidak efektif.

Kehadiran NU dalam pentas sosial-politik harus dikuatkan dengan pagar yang kokoh. Anak-anak muda yang berpikiran militan dan patuh kepada para kiai merupakan elemen paling relevan untuk menjadi pagar perjuangan ideologi Aswaja.

Karenanya, para kiai menggerakkan para pemuda dalam wadah perjuangan yang kemudian menjadi sayap pergerakan NU. Sayap pemuda itu adalah GP Anshor.

Gerakan Pemuda Anshor sebagai sayap kepemudaan di lingkungan NU berperan sebagai pagar kehadiran NU dalam kehidupan sosial-politik nasional. GP Anshor sebagai pagar NU dapat dilihat melalui dua hal.

Pertama, sejarah kelahiran GP Anshor sendiri. Bibit organisasi kader-kepemudaan NU ini adalah para murid Kiai Wahhab Chasbullah di organisasi Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi kepemudaan Islam yang dirintis oleh KH. Abdul Wahhab Chasbullah dan KH. Mas Mansyur.

Pada 1924, kedua tokoh kharismatik itu berpisah karena memilih jalur perjuangan berbeda. KH. Mas Mansyur bergabung dengan organisasi modernis, Muhammadiyah.

Sedangkan Kiai Wahhab bersama dengan kiai pengasuh pesantren lainnya mendirikan NU pada 1926. Para pendukung Kiai Wahhab di Syubbanul Wathan kemudian turut bergabung di NU.

Pada 1934, secara resmi kelompok pemuda ini di wadahi dalam Persatuan Pemuda NU (PPNU), lalu berubah nama menjadi Pemuda NU (PNU), dan terakhir Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO). Terakhir, nama ini diubah menjadi Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor).

Gerakan Pemuda Anshor telah mengawal program-program NU, terutama dengan organisasi sayap paramiliternya, Barisan Anshor Serba Guna (Banser). Baik ketika revolusi fisik maupun ketika menghadapi pemberontakan G30S/PKI.

Kedua, nilai-nilai yang di kembangkan dalam GP Anshor. Secara, GP Anshor bertujuan;

1) Membentuk dan mengembangkan generasi muda Indonesia sebagai kader bangsa yang cerdas dan tangguh, memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, berkepribadian luhur, berakhlak mulia, sehat, terampil, patriotik, ikhlas dan beramal shalih.

2) Menegakkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menempuh manhaj salah satu madzhab empat di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3) Berperan secara aktif dan kritis dalam pembangunan nasional demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan Indonesia yang berkeadilan, berkemakmuran, berkemanusiaan dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia yang diridhoi Allah SWT.

Berdasarkan sejarah dan nilai perjuangannya, GP Anshor adalah kepanjangan tangan perjuangan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang tergabung dalam organisasi NU.

Jika NU lahir untuk menjaga Islam Aswaja dalam kerangka NKRI, demikian pula GP Anshor. GP Anshor menjadi penyempurna kehadiran NU dalam konteks perjuangan keislaman dan keindonesiaan sekaligus. Kehadiran NU di Indonesia adalah sebuah kewajiban, demikian pula GP Anshor.

Itula konteks pembentukan GP Anshor yang mengikuti logika al-harim lahu hukmu ma huwa harimun lahu, pagar sesuatu hukumnya sama dengan yang dipagari. Hukum pembentukan GP Anshor sama dengan hukum pembentukan NU. Sama-sama wajibnya.

Penulis : Montt / wartaekonomi.

LAINNYA